Monday, September 25, 2006

Shalat Tarawih Berjamaah (di Mesjid)?

Alhamdulillah, malam pertama di Bulan Ramadhan 1427 H (23 September 2006) saya bisa berada di Rumah Orang Tua, Kota Banjar-Jawa Barat. Orang tua saya sangat senang dengan kedatangan saya, karena mungkin akan kurang lengkap (sreg?) apabila ada satu saja, anggota keluarga tidak bisa hadir di malam yang suci ini. Malam itu malam yang sangat mengembirakan bagi semua anggota keluarga, terutama saya—saya sangat bahagia bila melihat (terutama) Orang Tua merasa senang.

Tak lama menjelang adzan Isya, Pak Ajengan (sebutan penduduk untuk orang yang dipandang mempunyai ilmu agama Islam yang luas) mengumumkan/mengingatkan bahwa setelah (nanti) shalat isya akan diteruskan dengan shalat sunnat tarawih (23 raka'at), dan seperti biasa saya akan shalat tarawih di rumah dengan jumlah raka'at: 11 raka'at. Karena Orang Tua saya sudah memahami saya tentang hal ini, (tak lama setelah Adzan Isya berkumandang) Mamah, Bapak dan Iin (panggilan Adik saya) pamit duluan untuk shalat isya dan sekalian tarawih di Mesjid.

Ada beberapa fenomena menarik di setiap bulan Ramadhan ini, satu diantaranya adalah adanya jamaah yang sudah terbiasa shalat sunnat tarawih di Mesjid dan beberapa lagi melaksanakannya di Rumah masing-masing. Masalah ini sudah sangat sering dibicarakan, didiskusi, dan didebatkan orang banyak. Tapi kali ini saya ingin membahasnya dari sisi lain.

Shalat sunnat tarawih sebenarnya sama dengan shalat sunnat malam (shalat sunnat tahajjud) lainnya yang biasa dilakukan/dianjurkan oleh Rasul pada malam hari seperti biasa, hanya saja khusus di bulan Ramadhan shalat sunnat tersebut dinamakan shalat tarawih. Berarti tidak ada aturan pelaksanaan shalat yang berubah/berbeda, karena hanya nama/sebutan shalatnya saja yang berbeda—aturan shalat tetap sama dengan aturan shalat sunnat tahajud yang biasa dilakukan di luar bulan Ramadhan; shalat sunnat 11 (8 raka'at ditambah shalat sunnat witir 3 raka'at) raka'at, dikerjakan setelah bangun tidur di malam hari (di seperempat malam terakhir) dan oleh sendiri-sendiri (sendiri=tidak berjama'ah) di Rumah masing-masing[1].

"Artinya : Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya kepada 'Aisyah radyillahu anha tentang shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam di bulan Ramadhan. Maka ia menjawab ; Tidak pernah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam kerjakan (tathawwu') di bulan Ramadhan dan tidak pula di lainnya lebih dari sebelas raka'at 1) (yaitu) ia shalat empat (raka'at) jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian ia shalat empat (raka'at) 2) jangan engkau tanya panjang dan bagusnya kemudian ia shalat tiga raka'at".[Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]

Itulah shalat sunnat tarawaih (=shalat tahajud yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad Saw. dari sejak beliau “dilantik” menjadi Nabi/Rasul sampai beliau wafat. Hanya saja pada perkembangannya (setelah Beliau wafat) beberapa sahabat menganjurkan untuk melaksanakan shalat tarawih di Mesjid dengan alasan bahwa Mesjid harus “makmur”[2], ramai dengan kegiatan ibadah. Hal yang menjadi dampak negatif bagi perkembangan Agam Islam adalah bahwa ini akhirnya menjadi suatu kebiasan ritual yang tidak tepat (menambah-nambah kegiatan ritual agama yang tidak diajarkan Rasul, bid'ah?), karena pelaksanaan shalat tarawih yang seharusnya dilaksanakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing menjadi suatu “keharusan” untuk dilaksanakan di Mesjid secara berjama'ah (beberapa dengan bacaan dan gerakan shalat yang cepat karena mengejar raka'at yang banyak). Ini tidak saja berseberangan dengan yang dicontohkan (sunnat) Rasul tapi juga menyalahi aturan shalat yang harus dikerjakan dengan khusuk dan tertib.

Apa yang seharusnya kita lakukan dalam “meluruskan” kesalahan ini? Di beberapa Mesjid di kota Bandung ternyata sudah lama lahir dua (atau lebih?) pendapat yang melakukan ritual pelaksanaan shalat sunnat tarawih ini bisa berhubungan dengan baik (saling menghormati), tidak ada saling menyalahkan antar penganut pendapat yang berbeda. Mungkin masyarakat di perkotaan sudah saling mengerti dan lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak, jadi perbedaan pendapat bukan hal yang merusak, tapi tumbuh untuk bisa saling mengisi dan berbagi. Tapi bagaimana di daerah pedesaan yang jauh (sukar/lambat) dari sumber informasi sehingga proses pemerolehan ilmu (khususnya) agama kurang cepat, yang pada akhirnya masalah di atas bisa mejadi konflik yang cukup “panas” di masyarakat? Semoga tidak. Dengan semakin banyaknya Anak Pedesaan yang kuliah (migrasi) di kota besar semoga dapat mendistribusikan ilmu dan pengetahuan agama yang diperolehnya di lingkungan Univeritasnya untuk disyi'arkan kepada masyarakt, sehingga transfer ilmu dan pengetahuan bisa berlangsung (minimal) tidak terlalu lambat.

Solusi?...

Idealnya kita bisa mengubah kebiasaan yang bertentangan dengan sunnat Rasul tersebut. Tetapi karena kondisi yang terjadi di masyarakat yang sudah kadung terbiasa dan sangat sulit untuk diubah maka kita hanya bisa memberikan
pengertian bahwa shalat tarawih (dan kegiatan ritual agama lainnya) harusnya dilaksanakan sesuai aturan Al Qur'an dan hadist Rasul serta kita tetap harus selalu memberikan tauladan baik dan menghormati masyarakat yang berbeda pendapat tentang hal tersebut. Tinggal kita berikan nasehat kepada generasi muda, anak cucu kita di masa datang agar kegiatan ritual agama senantiasa dilakukan atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sedikit demi sedikit kegiatan agama yang menyimpang bisa kita kurangi dengan cara yang bijak, semoga.

Atau ada solusi yang lebih tepat?...

Di luar pokok tulisan di atas, izinkan saya dan keluarga untuk mengucapkan selamat menjalankan ibadah shaum Ramadhan.. Taqabbalallahu minna waminkum shiyamana washiyamakum, semoga ibadah kita diterima oleh Allah Swt. :)


[1] Terkait juga dengan apakah keterangan hadits yang dirujuk termasuk hadits shahih (kuat=sangat terpercaya) atau dhaif (lemah=tidak/kurang terpercaya)

[2] Beberapa pendapat mengemukakan bahwa jumlah raka'at yang seharusnya hanya 11 raka'at menjadi 23 raka'at atas anjuran Khalifah Umar, tapi sayang saya belum menemukan referensi yang tepat tentang keterangan ini. Ada yang ingin menyumbangkan informasi tentang hal ini?

*Gambar hilal di atas berasal dari url ini.

Tuesday, September 05, 2006

Where's ipw3945d? [problem's solved]

Setelah kejadian yang lalu (di mana wireless adapter di notebook tidak otomatis ON) ternyata masalahnya sederhana, hanya tinggal menggeser (ke kanan) Wireless Communication Button/Indicator-nya (bulatan merah pada gambar di bawah) sehingga indikator bahwa wireless adapter sudah aktif menyala (blinking berwarna kuning)...

Masalah tersebut muncul apabila sumber tegangan listrik (V) yang didapat kurang stabil/cukup untuk "menghidupkan" wireless adapter-nya (mungkinkah?), sehingga harus di-switch oleh user, jika sumber tegangannya OK wireless adapter tersebut akan aktif otomatis. Saya mencobanya di rumah dan wireless adapter tersebut pun "menyala" otomatis, tetapi apabila di Lab Kampus tidak demikian (ketika kejadian itu notebook ini diinstalasi di Lab Kampus).

Aah! Ternyata bukan kesalahan SuSE, hanya saja kondisi sumber tegangan listrik dan kebodohan saya penyebabnya... he.he.he. :D